Hari
mulai petang, Fera baru pulang dari latihan pramuka. Penat sangat terlihat
dengan hanya sekali pandang. Sendinya bagai tak mampu menahan bobot tubuhnya.
Namun, entah kekuatan apa yang menggerakkan kaki-kakinya berjalan menuju
rumahnya. Setelah sampai diteras rumah, ia menjatuhkan tubuhnya di kursi rotan
yang ada di teras rumahnya. Ibunya, yang juga ada di teras hanya menatapnya.
“
Baru pulang ya? Kok pulang sih? Kenapa nggak sekalian aja nginap di sekolah? “
“ Kok
pertanyaannya begitu sih Ma? Fera baru pulang masih capek habis latihan udah
dimarah-marahin”
“ Mama
kan sudah bilang nggak usah ikut begituan. Memangnya kamu ada waktu di rumah?
Apa manfaatnya kamu ikut kegiatan begituan? Lihat! Pulang-pulang sudah
mengeluh, sebentar-sebentar tidur duluan. Alasannya pasti capek ”
“Ya
iyalah Ma. Namanya juga baru pulang habis latihan. Udah ah. Fera mau tidur.
Fera capek.”
Karena
sebal dengan ibunya yang seakan tidak mengerti dirinya. Ia mengangkat tubuhnya
dari tempat duduk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia tak perduli lagi kalau
ibunya memandang sinis dirinya. Saat masuk kedalam rumah, ia berpapasan dengan
kakaknya, Nanda yang hendak ke teras.
“ Ada
apa lagi Dik? Marahan lagi sama Ibu?”
“nggak
tahu tuh Ibu. Orang baru pulang sudah dimarahi.”
“
Lagian sih kamu, pulang sampai mau magrib begini. Ibu cemasnya bukan main tuh,
sampai dia nunggu kamu di teras.”
“ Ah!
tahu. Capek, mau tidur.”
Kakaknya
hanya bisa geleng-geleng kepala melihat adiknya yang kasarnya bukan main.
Sedangkan Fera beranggapan kalau di dalam rumahnya tak ada seorangpun yang bisa
memahaminya. Ia berpikir ia adalah korban diskriminasi dari keluarga tersebut.
Ia
masuk ke kamarnya dan langsung saja dia menjatuhkan tubuhnya ke atas
ranjangnya. Pikirannya langsung melayang ketika dimana umurnya masih 8 tahun.
Saat itu, ia sangat mengiginkan sepatu yang memiliki
roda dibawahnya, yang pada saat itu sedang trend dikalangannya. Ia
sampai-sampai menangis selama 3 jam karena keinginannya ditolak. Baru 1 tahun
setelah itu ia dibelikan, itupun ia keduluan Nanda. Ia benar-benar mengamuk
melihat kado ulang tahun kakaknya berisi sepatu yang dia idam-idamkan.
Mengingat
hal itu kembali, rasa marah dan cemburu kembali membuncah dalam dadanya. Ia
semakin membenci Ibu dan Nanda. Setiap kali sehabis adu mulut dengan Ibunya,
kerap kali pula ia pertanyakan pada dirinya. Apakah benar ia anak kandung dari
Ibunya?
Meskipun Nanda tak
pernah berbicara kasar padanya, namun kasih sayang Ibu yang menurutnya
berlebihan pada Nanda membuat apa saja yang dilakukan Nanda padanya tetap
terlihat jelek di matanya. Ia pun tidur terbawa khayalan-khayalan ketidakadilan
Ibu dan Nanda. Ia sangat lelap sampai-sampai seruan adzan dan dorongan-dorongan
oleh orang-orang yang membangunkannya tak ia rasakan. Ia meninggalkan waktu
shalat.
Waktu subuh pun datang.
Ibu kembali datang membangunkannya, takut Fera meninggalkan waktu shalat lagi
ia pun membangunkan Fera dengan kasar. Hal itu memicu amarah Fera kepada
Ibunya. Ia meninggikan suaranya dan memarahi Ibunya, seakan-akan dialah yang
lebih tua ketimbang Ibunya. Nanda pun datang untuk dapat mengetahui keributan
yang sudah terjadi. Setelah melihat apa yang terjadi, ia langsung berusaha
menenangkan amarah Fera.
“ Fera! Kamu kenapa?”
“ Nggak tahu. Pokoknya,
aku benci sama Ibu. Aku nggak bisa lihat sisi kebaikan Ibu lagi. Mau dilihat
dari mana saja tetap semua sisi kelihatan jelek di mataku.”
“ Fera! Kamu lihat nggak yang kamu ajak
bicara? Ini Ibu kamu, yang ngelaihirin kamu. Kamu kok bisa sih nada bicara kamu
kayak begitu sama Ibu kamu sendiri?”
“ Aku ragu kalau Ibu
yang ngelahirin aku. Emangnya dia sayang sama aku? Nggak kan? Cuma yang namanya
Nanda anak ibu. Aku sama sekali bukan anak Ibu”
Kalimat itu benar-benar
seperti menampar wajah Ibu Fera. Tak ia sangka kasih sayang yang ia curahkan
kepada anak-anaknya, belum terasa oleh Fera.
Nafas dari Ibu Fera
sangat sesak terasa, matanya berkunang-kunang, kepalanya pusing. Jantungnya
terasa sangat sakit, seluruh tubuhnya ikut terasa sakit. Sakit jantung yang ia
derita kambuh.
Ia pun ambruk dan menemui ajalnya. Fera dan
Nanda kaget bukan kepalang. Setelah tahu, Ibunya telah pergi meninggalkan
mereka, Fera seketika itu juga dihinggapi rasa sesal yang teramat sangat terhadap
ibunya.